1. ASPEK
PENGETAHUAN
Dari segi aspek pengetahuan, dapat dibahagikan kepada
dua :
a) Syarat
pengetahuan murni
b) Syarat
manhajiah (berkaitan dgn metod)
Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân
fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima
belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
Bahasa
Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu
perkataaan dan maksudnya sesuai dengan objek.
2.
Nahwu
karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan
i’rab.
3.
Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur)
dan shîghah (tense) suatu kata.
4.
Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal
dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح).
5.
Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb
(komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6.
Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb
(komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya
suatu makna.
7.
Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb
(komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu
yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense
terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.
8.
Ilmu qirâ’ah
karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya
model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’
lainnya.
9.
Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat
yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala.
Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil
terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10.
Ushul
fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi
penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth.
11.
Asbâbun
Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya
dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12.
An-Nâsikh
wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam
(ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
13.
Fikih.
14.
Hadits-hadits
penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak
diketahui).
15.
Ilmu muhibah,
yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan
ilmunya.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم
يعلم
“Siapa yang mengamalkan
ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui.” Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbâth
darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
Adapun bagi seorang mufassir kontemporer,
menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, maka ia harus menguasai
tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima
belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:
1)
Mengetahui
secara sempurna ilmu-ilmu kontemporeri
2)
Mengetahui
pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia
agar mufassir mampu menghadapi setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta
mewujudkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap masalah kontemporeri.
3)
Adanya kesedaran terhadap masalah kontemporeri.
Selain
harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam
menafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan, “Siapa yang
ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari
tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat
ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu
tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak
menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas
bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya
kepada pendapat para sahabat
karena mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang
menyaksikan konteks dan keadaan pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka
juga diberi kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan
amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antara pendapat para sahabat, maka
harus dikembalikan kepada pendapat
yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbezaan pendapat mereka mengenai
makna huruf-huruf hijâ’ (alphabet), maka harus dikembalikan pada
pendapat orang yang mengatakan, ‘Maknanya adalah qasam (sumpah)’.”
Manhaj
(metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para
ulama dikenal dengan istilah tafsîr bil ma’tsûr. Manhaj ini yang pertama kali harus
ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan akal sebatas yang
diperbolehkan.
1. ASPEK
KEPERIBADIAN
Adapun
syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir adalah syarat yang
berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan aspek kepribadian
adalah akhlak dan
nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak
untuk memikul amanah dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada
orang yang tidak mengetahuinya. Para ulama salaf shalih mengartikulasikan aspek
ini sebagai adab-adab seorang alim.
Imam
As-Suyuthy mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna
wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam
hatinya terdapat bid‘ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar
melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir
yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan
penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya.
Saya katakan, inilah makna firman Allah ta‘ala,
سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ الَّذِينَ
يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku akan memalingkan orang-orang yang
menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasaan-Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)
Sufyan
bin ‘Uyainah mengatakan, ‘Para ulama
mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman
mengenai Al-Quran.’ Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.”
Berdasarkan
perkataan Imam As-Suyuthy di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah
adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1.
Akidah
yang lurus
2.
Terbebas
dari hawa nafsu
3.
Niat yang
baik
4.
Akhlak
yang baik
5.
Tawadhu‘
dan lemah lembut
6.
Bersikap
zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta‘ala
7.
Memperlihatkan
taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari
perkara-perkara yang dilarang
8.
Tidak
bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan
Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk
kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.
·
Tafsir
dalam disiplin ilmu al-quran tidak sama dengan interprestasi teks lain
·
Pengertian
dari sudut pandangan islam ‘menjelaskan’
Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy
mendefinisikan tafsir dengan:
علم يبحث عن مراد الله تعالى بقدر
الطاقة البشرية, فهو شامل لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد.
“Ilmu yang membahas
maksud Allah ta‘ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala
sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”
As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân
fî ‘Ulûm al-Qurân. E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts
wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.