BaNNerS

BannerFans.com

Teman Blogger

Jumaat, 21 Oktober 2011

Syarat Mufasirrun


1.  ASPEK PENGETAHUAN

Dari segi aspek pengetahuan, dapat dibahagikan kepada dua :
a)      Syarat pengetahuan murni

b)      Syarat manhajiah (berkaitan dgn metod)

Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir.[1] Lima belas ilmu tersebut adalah sebagai berikut:

1.       Bahasa Arab karena dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosakata suatu perkataaan dan maksudnya sesuai dengan objek.
2.       Nahwu karena suatu makna bisa saja berubah-ubah dan berlainan sesuai dengan perbedaan i’rab.

3.       Tashrîf (sharaf) karena dengannya dapat diketahui binâ’ (struktur) dan shîghah (tense) suatu kata.  

4.       Isytiqâq (derivasi) karena suatu nama apabila isytiqâqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (المسيح), apakah berasal dari (السياحة) atau (المسح‏).

5.       Al-Ma‘âni karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi manfaat suatu makna.

6.       Al-Bayân karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas tidaknya suatu makna.

7.       Al-Badî‘ karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.

        Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sense terhadap keindahan bahasa (i‘jâz) Al-Quran.
8.       Ilmu qirâ’ah karena dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran dan kuat tidaknya model bacaan yang disampaikan antara satu qâri’ dengan qâri’ lainnya.
9.       Ushûluddîn (prinsip-prinsip dien) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat yang secara tekstual menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala. Seorang ahli ushul bertugas untuk menakwilkan hal itu dan mengemukakan dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.

10.   Ushul fikih karena dengannya dapat diketahui wajh al-istidlâl (segi penunjukan dalil) terhadap hukum dan istinbâth. 

11.   Asbâbun Nuzûl (sebab-sebab turunnya ayat) karena dengannya dapat diketahui maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12.   An-Nâsikh wa al-Mansûkh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan hukumnya) dari ayat selainnya.
13.   Fikih.

14.   Hadits-hadits penjelas untuk menafsirkan yang mujmal (global) dan mubham (tidak diketahui).
15.   Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang mengamalkan ilmunya.

        Dalam sebuah hadits disebutkan,

من عمل بما علم ورثه الله علم ما لم يعلم
“Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahinya ilmu yang belum ia ketahui.” Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbâth darinya merupakan lautan yang tidak bertepi.”
Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy[2], maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah: 
1)      Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporeri

2)      Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar mufassir mampu menghadapi setiap syubhat yang ditujukan kepada Islam serta mewujudkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim terhadap setiap masalah  kontemporeri.

3)      Adanya  kesedaran terhadap masalah kontemporeri.

Selain harus menguasai ilmu-ilmu di atas, seorang mufassir harus memperhatikan manhaj yang ditempuh dalam menafsirkan Al-Quran. Imam Jalaluddin As-Suyuthy mengatakan, “Siapa yang ingin menafsirkan Al-Quran yang mulia maka pertama kali ia harus mencari tafsirnya dari Al-Quran. Ayat yang bermakna global pada suatu tempat ditafsirkan dengan ayat pada tempat lain dan ayat yang ringkas pada suatu tempat diperluas penjelasannya dengan ayat pada tempat lainnya. Apabila tidak menemukannya, maka ia harus mencarinya dari As-Sunnah karena ia (As-Sunnah) merupakan penjelas bagi Al-Quran. Apabila tidak menemukannya dari As-Sunnah, maka ia harus mengembalikannya kepada pendapat para sahabat karena mereka lebih mengetahui penafsiran Al-Quran. Sebab, merekalah yang menyaksikan konteks dan keadaan pada saat turunnya ayat. Selain itu, mereka juga diberi kekhususan berupa pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih. Ketika terjadi kontradiksi antara pendapat para sahabat, maka harus dikembalikan kepada pendapat yang paling kuat dalilnya. Misalnya perbezaan pendapat mereka mengenai makna huruf-huruf hijâ’ (alphabet), maka harus dikembalikan pada pendapat orang yang mengatakan, ‘Maknanya adalah qasam (sumpah)’.”[3]
Manhaj (metode) seperti yang dikemukakan oleh Imam As-Suyuthy di atas di kalangan para ulama dikenal dengan istilah tafsîr bil ma’tsûr. Manhaj ini yang pertama kali harus ditempuh oleh seorang mufassir sebelum ia menafsirkan dengan akal sebatas yang diperbolehkan.
1.  ASPEK KEPERIBADIAN

Adapun syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir adalah syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan aspek kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang mufassir agar layak untuk memikul amanah dalam menyingkap dan menjelaskan suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para ulama salaf shalih mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang alim.

Imam As-Suyuthy mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid‘ah, kesombongan, hawa nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat daripada sebagian lainnya. Saya katakan, inilah makna firman Allah ta‘ala,

سَأَصْرِفُ عَنْ ءَايَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)

                Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, ‘Para ulama mengatakan bahwa maksud ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai Al-Quran.’ Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.”[4]

                Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuthy di atas, Ahmad Bazawy Adh-Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu: 

1.       Akidah yang lurus

2.       Terbebas dari hawa nafsu

3.       Niat yang baik

4.       Akhlak yang baik

5.       Tawadhu‘ dan lemah lembut

6.       Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena Allah ta‘ala

7.       Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap menghindar dari perkara-perkara yang dilarang

8.       Tidak bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan

Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.[5]



·         Tafsir dalam disiplin ilmu al-quran tidak sama dengan interprestasi teks lain

·         Pengertian dari sudut pandangan islam ‘menjelaskan’

Sementara itu, Imam Jalaluddin As-Suyuthy mendefinisikan tafsir dengan:

علم يبحث عن مراد الله تعالى بقدر الطاقة البشرية, فهو شامل لكل مايتوقف عليه فهم المعنى وبيان المراد. 
“Ilmu yang membahas maksud Allah ta‘ala sesuai dengan kadar kemampuan manusiawi yang mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman dan penjelasan makna.”[6]


[1] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. Bab Ma‘rifah Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbihi E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.
[2] Silakan lihat: Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245
[3] . Arqahwah, Shalahuddin. 1987. Mukhtashar Al-Itqân. Fî ‘Ulûm Al-Qurân li As-Suyûthy. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal. 125
[4] As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: www.omelketab.net pada 6 September 2007.
[5] Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=82245 Diakses pada 30 Agustus 2007.
[6] Adz-Dzahabi. Op.cit. hal. 6

Tiada ulasan:

Catat Ulasan